M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada tanggal 16 Februari 1944. setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang,
sambil “nyantri” di pondok pesantren Darul hadis Al-Fiqihiyyah. Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (SI) pada fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis yang berjudul Al-I’jaz Al-Tasyri’iy Al-Qur’an Al-Karim.
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan Disertasi berjudul Nazhm Al-Durar Li Al-Biqa’I, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (Mumtaz Ma’a Martabat Al-Syaraf Al-‘Ula).
Dengan prestasinya itu, dia tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan Disertasi berjudul Nazhm Al-Durar Li Al-Biqa’I, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (Mumtaz Ma’a Martabat Al-Syaraf Al-‘Ula).
Dengan prestasinya itu, dia tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.
1. Karir Yang Ditapaki
Pengabdian dibidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1992-1998. kiprahnya tidak terbatas dilapangan Akademis, beliau juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: ketua Majelis Ulama Indonesia (pusat), 1985-1998, anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama, sejak 1989, anggota Pertimbangan Pendidikan Nasional, sejak 1989, anggota MPR RI 1982-1987 dan 1999-2002 beliau diangkat sebagai Duta Besar RI Republik Arab Mesir, yang berkedudukan di Kairo.
Pengabdian utamanya sekarang adalah Dosen (guru besar) Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta. Sosoknya juga sering tampil diberbagi media untuk memberikan siraman ruhani dan intelektual.
Pengabdian dibidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1992-1998. kiprahnya tidak terbatas dilapangan Akademis, beliau juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: ketua Majelis Ulama Indonesia (pusat), 1985-1998, anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama, sejak 1989, anggota Pertimbangan Pendidikan Nasional, sejak 1989, anggota MPR RI 1982-1987 dan 1999-2002 beliau diangkat sebagai Duta Besar RI Republik Arab Mesir, yang berkedudukan di Kairo.
Pengabdian utamanya sekarang adalah Dosen (guru besar) Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Jakarta. Sosoknya juga sering tampil diberbagi media untuk memberikan siraman ruhani dan intelektual.
2. Corak Pemikirannya
Jika ditelusuri latar belakang pendidikan para pengkaji Islam yang menonjol di tanah air, nampaklah bahwa hampir tidak ada di antara mereka yang sejak kecil benar-benar studi Islam di luar negeri. Pada masa penjajahan, mereka pada umumnya telah menempuh pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah tradisional (pesantren). Sebagai pendidikan lanjutan, sebagian mereka merantau ke negeri-negeri Timur Tengah untuk menimbah ilmu. Demikian juga dengan M. Quraish Shihab ini.
Kelompok generasi muda Islam di Timur Tengah dapat dibagi secara kasar kedalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang mempelajari agama pada tingkat menengah sampai sarjana muda. Kedua, mereka yang menempuh pendidikan ketingkat pasca sarjana, baik Master maupun Doktor.
Kelompok pertama nampaknya kurang dilengkapi kemampuan analitik dalam memahami, maupun dalam menangkap arah perubahan masyarakat. Orientasi pemikiran Islam mereka tampak dekat dengan pandangan ideologis Al-Ikhwanul Muslimum yang cenderung “fundamentalistik” dan bercorak “hitam-putih” dalam memandang masalah.
Sementara kelompok kedua yang menempuh gelar Master atau Doktor, nampaknya bersikap lebih moderat dalam pendekatan mereka terhadap Islam. Orientasi mereka semata-mata tidak ke Timur Tengah meskipun ini lebih dominan. Kelompok ini jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok yang pertama. Posisi mereka diantaranya sebagai pemimpin lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cukup modern, menjadi staff pengajar di perguruan tinggi Islam, bahkan tidak sedikit pula yang produktif yang menulis (termasuk Quraish Shihab) membawa kelompok ini lebih dekat dengan mereka yang melakukan studi ke barat dari generasi yang lebih muda.
Dari uraian diatas penulis dapat memahami bahwa Quraish Shihab adalah termasuk salah satu generasi pengkaji Islam yang menempuh pendidikannya sampai bergelar Doktor, berfikiran moderat, produktif dalam menulis buku tafsir yang cukup lengkap dan tematis. Dengan alasan tersebut maka penulis menyakini bahwa Quraish Shihab adalah seorang “Fundamentalis Modernis.”
Jika ditelusuri latar belakang pendidikan para pengkaji Islam yang menonjol di tanah air, nampaklah bahwa hampir tidak ada di antara mereka yang sejak kecil benar-benar studi Islam di luar negeri. Pada masa penjajahan, mereka pada umumnya telah menempuh pendidikan keagamaan di sekolah-sekolah tradisional (pesantren). Sebagai pendidikan lanjutan, sebagian mereka merantau ke negeri-negeri Timur Tengah untuk menimbah ilmu. Demikian juga dengan M. Quraish Shihab ini.
Kelompok generasi muda Islam di Timur Tengah dapat dibagi secara kasar kedalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang mempelajari agama pada tingkat menengah sampai sarjana muda. Kedua, mereka yang menempuh pendidikan ketingkat pasca sarjana, baik Master maupun Doktor.
Kelompok pertama nampaknya kurang dilengkapi kemampuan analitik dalam memahami, maupun dalam menangkap arah perubahan masyarakat. Orientasi pemikiran Islam mereka tampak dekat dengan pandangan ideologis Al-Ikhwanul Muslimum yang cenderung “fundamentalistik” dan bercorak “hitam-putih” dalam memandang masalah.
Sementara kelompok kedua yang menempuh gelar Master atau Doktor, nampaknya bersikap lebih moderat dalam pendekatan mereka terhadap Islam. Orientasi mereka semata-mata tidak ke Timur Tengah meskipun ini lebih dominan. Kelompok ini jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok yang pertama. Posisi mereka diantaranya sebagai pemimpin lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cukup modern, menjadi staff pengajar di perguruan tinggi Islam, bahkan tidak sedikit pula yang produktif yang menulis (termasuk Quraish Shihab) membawa kelompok ini lebih dekat dengan mereka yang melakukan studi ke barat dari generasi yang lebih muda.
Dari uraian diatas penulis dapat memahami bahwa Quraish Shihab adalah termasuk salah satu generasi pengkaji Islam yang menempuh pendidikannya sampai bergelar Doktor, berfikiran moderat, produktif dalam menulis buku tafsir yang cukup lengkap dan tematis. Dengan alasan tersebut maka penulis menyakini bahwa Quraish Shihab adalah seorang “Fundamentalis Modernis.”
B. Metode Terhadap Tafsir Al-Misbah
1. Konteks Lokal
Quraish Shihab tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang bernuansa agamis.keharmonisan keluarga dan bimbingan orang tuanya telah membekas dan berpengaruh besar bagi pribadi dan perkembangan akademisnya pada kemudian hari. Ayahnya, Abdurrahman Syihab (1905-1986), adalah seorang guru besar dalam bidang tafsir. Beliau seringkali bercengkerama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan, mengenai hal ini, Quraish Shihab menulis sebagai berikut:
“Seringkali beliau mengajak anak-anaknya bersama. Pada saat-saat yang seperti inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak dari petuah itu yang kemudian saya ketahui sebagai ayat-ayat al-Quran atau petuah Nabi, Sahabat, atau para pakar al-Qur’an yang sehingga detik ini masih terngiang ditelinga saya…dari sanalah benih kecintaan kepada studi al-Qur’an mulia tersemai dijiwa saya”.
Selain itu, pada awal abad ke-19 di Sulawesi Selatan tempat dimana Quraish Shihab dilahirkan dan dibesarkan, kegiatan Islamisasi semakin meningkat. Penguasa Wajo, La Memmang To Appamadeng sendiri yang menjadi pelopor dari kegiatan tersebut. Di bawah pengaruh seorang ulama Wahhabi Syeikh Madina, La Memmang diperintahkannya untuk diterapkannya ajaran-ajaran Wahhabi. Seperti (takhayul) diperangi dan tempat-tempat yang disakralkan dihancurkan. Syari’at Islam diberlakukan secara literal, misalnya orang-orang yang berzina harus dirajam, orang yang mencuri harus dipotong tangannya dan wanita harus memakai jilbab.
Sekalipun “gerakan puritan“ tersebut tidak berlangsung lama, tetapi membuat pengaruh yang dalam bagi masyarakat. Islam yang lebih radikal sedikit demi sedikit tertanam dikalangan mereka.
1. Konteks Lokal
Quraish Shihab tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang bernuansa agamis.keharmonisan keluarga dan bimbingan orang tuanya telah membekas dan berpengaruh besar bagi pribadi dan perkembangan akademisnya pada kemudian hari. Ayahnya, Abdurrahman Syihab (1905-1986), adalah seorang guru besar dalam bidang tafsir. Beliau seringkali bercengkerama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan, mengenai hal ini, Quraish Shihab menulis sebagai berikut:
“Seringkali beliau mengajak anak-anaknya bersama. Pada saat-saat yang seperti inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak dari petuah itu yang kemudian saya ketahui sebagai ayat-ayat al-Quran atau petuah Nabi, Sahabat, atau para pakar al-Qur’an yang sehingga detik ini masih terngiang ditelinga saya…dari sanalah benih kecintaan kepada studi al-Qur’an mulia tersemai dijiwa saya”.
Selain itu, pada awal abad ke-19 di Sulawesi Selatan tempat dimana Quraish Shihab dilahirkan dan dibesarkan, kegiatan Islamisasi semakin meningkat. Penguasa Wajo, La Memmang To Appamadeng sendiri yang menjadi pelopor dari kegiatan tersebut. Di bawah pengaruh seorang ulama Wahhabi Syeikh Madina, La Memmang diperintahkannya untuk diterapkannya ajaran-ajaran Wahhabi. Seperti (takhayul) diperangi dan tempat-tempat yang disakralkan dihancurkan. Syari’at Islam diberlakukan secara literal, misalnya orang-orang yang berzina harus dirajam, orang yang mencuri harus dipotong tangannya dan wanita harus memakai jilbab.
Sekalipun “gerakan puritan“ tersebut tidak berlangsung lama, tetapi membuat pengaruh yang dalam bagi masyarakat. Islam yang lebih radikal sedikit demi sedikit tertanam dikalangan mereka.
2. Konteks Nasional
Ketika tafsir al-Misbah ini disusun, Quraish shihab sedang memangku jabatan sebagai Menteri Agama RI sekaligus sebagai Duta Besar RI untuk Republik Arab Mesir, (1999-2000) namun jabatan yang dipangkunya itu tidak berlangsung lama karena pergantian pimpinan nasional yang terjadi secara mendadak. Angin Reformasi yang melanda Indonesia menjadikan jabatan Menteri Agama hanya beberpa bulan saja dalam jabatannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tafsir ini disusun ketika terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan, dari pemerintahan orde baru ke pemerintahan reformasi.
Ketika tafsir al-Misbah ini disusun, Quraish shihab sedang memangku jabatan sebagai Menteri Agama RI sekaligus sebagai Duta Besar RI untuk Republik Arab Mesir, (1999-2000) namun jabatan yang dipangkunya itu tidak berlangsung lama karena pergantian pimpinan nasional yang terjadi secara mendadak. Angin Reformasi yang melanda Indonesia menjadikan jabatan Menteri Agama hanya beberpa bulan saja dalam jabatannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tafsir ini disusun ketika terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan, dari pemerintahan orde baru ke pemerintahan reformasi.
3. Proses Penulisan
Sebenarnya awal proses penulisan tafsir ini, Quraish diminta untuk menjadi pengasuh dari rubrik “Pelita Hati” pada harian Pelita, pada tahun 1980-an. Tampaknya uraian-uraian yang disajikan menarik banyak pihak, kerna memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan dari tulisannya itu diterbitkan oleh penerbit Mizan dengan judul Lentera Hati, yang ternyata menjadi best seller dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Kumpulan dari rubrik Pelita Hati diterbitkan dengan judul Lentera hati, yang mana sebagian besar isi buku tersebut banayak diadopsi dalam penulisan tafsir al-Misbah. Dari sinilah tampaknya proses penulisan tafsir al-Misbah itu dimulai.
Sebenarnya awal proses penulisan tafsir ini, Quraish diminta untuk menjadi pengasuh dari rubrik “Pelita Hati” pada harian Pelita, pada tahun 1980-an. Tampaknya uraian-uraian yang disajikan menarik banyak pihak, kerna memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan dari tulisannya itu diterbitkan oleh penerbit Mizan dengan judul Lentera Hati, yang ternyata menjadi best seller dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Kumpulan dari rubrik Pelita Hati diterbitkan dengan judul Lentera hati, yang mana sebagian besar isi buku tersebut banayak diadopsi dalam penulisan tafsir al-Misbah. Dari sinilah tampaknya proses penulisan tafsir al-Misbah itu dimulai.
4. Sekilas Tentang Kondisi Kitab
Karya ini diberi judul: Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, yang kemudian biasa disingkat dengan tafsir al-Misbah saja. Pemilihan al-Misbah sebagai nama tafsirnya, bukan tanpa dasar sama sekali. Sebagaimana yang diketahui, nama ini berasal dari bahasa arab yang artinya lampu, pelita, lentera yang berfungsi memberikan penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan.
Dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai penerang bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup.
Karya ini diberi judul: Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, yang kemudian biasa disingkat dengan tafsir al-Misbah saja. Pemilihan al-Misbah sebagai nama tafsirnya, bukan tanpa dasar sama sekali. Sebagaimana yang diketahui, nama ini berasal dari bahasa arab yang artinya lampu, pelita, lentera yang berfungsi memberikan penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan.
Dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai penerang bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup.
C. Karakteristik Penulisan Kitab
1. Metode dan Corak Penafsiran
Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish mengemukakan bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu penulis juga menggunakan metode Maudhu’I atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode tahlili, Quraish memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode maudhu’i.
Dengan demikian, metode penulisan al-Misbah mengkombinasikan metode tahlili dengan metode maudhu’i.
Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir Al-Misbah adalah corak Ijtima’I atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah- masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat.
2. Sumber Penafsiran
Mengenai sumber penafsiran ini, dapat dinyatakan bahwa tafsir al-Misbah dapat dikelompokan pada al-Tafsir bi al-Ra’yi. Kesimpulan yang seperti ini dari pernyataan penulisannya sendiri yang mengungkapkan pada akhir “sekapur sirih” yang merupakan sambutan dari karya ini. Beliau menulis:
“Akhirnya, penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar al-Biqa’I (W 885 H/1480 M), demikian juga karya tafsir tertinggi al-Azhar dewasa ini. Sayyid Muhammad Thanthawi, Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quttub, Muhammad Thahir Ibn As-Ssyur, Sayyid Muhammad Husein Thobathoba’I dan beberapa pakar tafsir lainnya”.
Mengenai sumber penafsiran ini, dapat dinyatakan bahwa tafsir al-Misbah dapat dikelompokan pada al-Tafsir bi al-Ra’yi. Kesimpulan yang seperti ini dari pernyataan penulisannya sendiri yang mengungkapkan pada akhir “sekapur sirih” yang merupakan sambutan dari karya ini. Beliau menulis:
“Akhirnya, penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar al-Biqa’I (W 885 H/1480 M), demikian juga karya tafsir tertinggi al-Azhar dewasa ini. Sayyid Muhammad Thanthawi, Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quttub, Muhammad Thahir Ibn As-Ssyur, Sayyid Muhammad Husein Thobathoba’I dan beberapa pakar tafsir lainnya”.
3. Langkah-langkah Penafsiran
Adapun dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
1. Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
2. Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
3. Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
4. Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang sedang dibahas.
Adapun dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
1. Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
2. Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
3. Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
4. Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang sedang dibahas.
D. Contoh Yang Di Tafsirkan
“Mereka orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika seandainya mereka datang kepadamu, maka putuskanlah (perkara) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika seandainya engkau berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika seandainya engkau memutuskan (perkara) mereka, maka putuskanlah (perkara) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat lalu yang berbicara tentang sifat-sifat sementara orang Yahudi. Kalau dalam ayat yang lalu dikemukakan bahwa mereka amat suka mendengar kebohongan dan amat suka mendengar berita untuk disampaikan kepada orang lain, pada ayat ini ditekankan bahwa: Mereka adalah orang-orang yang amat suka mendengar, yakni menerima dan membenarkan berita bohong, bukan sekadar mendengarnya dengan penuh antusias. Di samping itu, banyak juga di antara mereka yang memakan, yakni memperoleh dan menggunakan yang haram, seperti riba, sogok-menyogok, dan lain-lain. Karena itu, jika seandainya mereka, yakni orang-orang Yahudi itu, datang kepadamu, wahai Muhammad, untuk meminta putusan, maka putuskanlah perkara yang mereka ajukan di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; yakni kamu dapat memilih memutuskan atau tidak dan jika seandainya engkau berpaling dari mereka, yakni menolak permintaan mereka, maka yakinlah bahwa mereka tidak akan memberi mudharat padamu sedikit pun. Dan jika seadainya engkau memilih untuk memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah perkara yang mereka ajukan itu di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Kata (سحت) suht pada mulanya berarti sesuatu yang membinasakan. Ada pula yang menyatakan bahwa kata tersebut pada mulanya digunakan untuk melukiskan binatang yang sangat rakus melahap makanan. Seseorang yang tidak peduli dari mana dan bagaimana ia memperoleh harta, ia dipersamakan dengan binatang yang melahap segalam macam makanan sehingga pada akhirnya ia binasa oleh perbuatannya sendiri.
Dalan ayat ini digunakan kata (إن) in/jika atau seandainya. Kata ini antara lain mengandung makna keraguan akan terjadinya apa yang diberitakan. Dari sini dipahami bahwa sebenarnya, ketika orang-orang Yahudi datang meminta putusan kepada Nabi saw., mereka dalam keadaan ragu atau menduga bahwa Nabi saw. akan memutuskan sesuatu yang menyenangkan mereka, tetapi ternyata dugaan mereka meleset sehingga mereka menyesal. Sedangkan, penggunaan kata tersebut, ketika memberi pilihan kepada Nabi saw. Memutuskan atau tidak, untuk mengisyarakatkan bahwa Nabi saw. tidak antusias untuk memberi putusan karena Nabi saw. yakin bahwa mereka sebenarnya tidak menuntut keadilan tetapi menuntut sesuatu putusan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Alternatif yang ditawarkan ayat ini kepada Nabi saw. disebabkan adanya dua hal yang bertentangan. Dari satu sisi, keharusan menegakkan keadilan menuntut Nabi untuk memberi putusan. Tetapi di sisi lain, karena mereka pada hakikatnya bukan menuntut keadilan maka, jika Nabi memutuskan dengan adil, mereka akan menolaknya, dan ini berarti pelecehan terhadap putusan Nabi saw.
Dapat juga dikatakan bahwa permintaan orang-orang Yahudi kepada Nabi saw. untuk memutuskan perkara mereka, bukan didasarkan atas kepercayaan beliau sebagai Nabi, tetapi didasarkan pada kepercayaan mereka akan kejujuran dan keadilan beliau, atau didasarkan pada kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat Madinah yang mereka telah akui sebelum ini ketika Nabi saw. tiba di Madinah menghimpun semua kekuatan masyarakat. Atau, boleh juga permintaan itu mereka ajukan kepada Nabi Muhammad yang mereka percayai sebagai Nabi orang-orang Arab—bukan Nabi orang-orang Yahudi, karena, seperti diketahui, sekelompok orang Yahudi mengakui bahwa Nabi Muhammad sebagai Nabi orang-orang Arab, yakni kelompok yang dikenal dengan nama al-Îsâwiyah.
Memang, sejak dulu hingga kini, ada orang-orang yang mengakui kenabian Muhammad saw.—walaupun di saat yang sama ia tetap mempertahankan agamanya, seperti Theodore Abu Qurrah, seorang uskup dari Harram-Mesopotamia, yang lahir pada 740 M. Uskup ini menempatkan Nabi Muhammad saw. pada posisi para nabi dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. telah menempuh jalan para nabi. Demikian pula halnya dengan Uskup Sidon Paul of Antioch, seorang pemuka agama dari sekte Malikite yang hidup pada awal abad ke-12. Beliau tidak saja mengakui nilai luhur ajaran Nabi Muhammad, bahkan mengakuinya sebagai salah seorang Nabi yang diutus ke bangsa Arab. Selanjutnya, pada abad ini dan abad lalu, tidak sedikit biografi Nabi Muhammad saw. yang ditulis oleh sarjana Barat yang memiliki kadar objektifitas yang tinggi jika dibandingkan dengan karya-karya generasi sebelumnya. Mereka berusaha bersikap adil dan objektif. Montgomery Watt, misalnya, menulis secara simpatik tentang pribadi Nabi saw. dalam bukunya, Prophets and Statesman, dan tanpa ragu berkata: “Saya menganggap Muhammad adalah benar-benar seorang Nabi, dan saya berpendapat bahwa kita (umat Kristen) harus mengakui hal ini berdasarkan prinsip agama Kristen yang menyatakan bahwa: ‘Dari buahnya engkau akan mengetahui (benar tidaknya) suatu usaha. Ini disebabkan, sepanjang masa, Islam telah membuahkan banyak orang lurus dan suci.’ Demikian pula ungkapan seorang sarjana Jerman, Gunther Luling, yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai Angels prophet (Nabi yang menyerupai malaikat).”
Ayat ini mengisyatkan juga bahwa dalam Taurat/Perjanjian Lama, yang beredar pada masa Nabi hingga dewasa ini, terdapat hal-hal yang benar, di samping terdapat pula yang telah mereka ubah dan putarbalikkan. Dari sini, dapat dipahami bolehnya membenarkan informasi Taurat yang sejalan dengan informasi al-Qur`an, as-Sunnah, dan akal sehat.



0 komentar:
Posting Komentar